Marquee

SELAMAT DATANG DI BLOG INI, SEMOGA BERMANFAAT BAGI ANDA, TERIMA KASIH

Kamis, 18 September 2014

Fisika Medis,Apa itu???

Fisika Medis? Apa itu? Mata pelajaran baru kah? Jurusan kuliah baru kah?

Well, sebagian benar dan sebagian kurang benar. Fisika Medis memang boleh dideskripsikan sebagai 'mata pelajaran', tapi bukan dengan konteks mata pelajaran dari-bel-sampai-bel-lagi ala mata pelajaran sekolah. This is a lot and way better than that
Dan, Fisika Medis memang adalah sebuah jurusan kuliah, tapi nggak baru. Yah, nggak baru-baru amat lah. Mungkin sebagian kalangan profesional atau praktisi kesehatan (dari dokter, regulator, sampai importir alat kesehatan) sudah agak familiar dengan dua kata 'Fisika Medis' atau 'Fisikawan Medis' (sebagai pihak pelaku Fisika Medis), terlebih jika lahan pekerjaannya tidak berjauhan dengan Radiologi, Radioterapi, dan Kedokteran Nuklir. Nah lho? Apa pula itu?

Okay, sebelum kita melangkah lebih jauh ke penjelasan tiga sub-bidang Fisika Medis itu, ada baiknya (udah pastinya) lebih enak jika istilah 'Fisika Medis' dulu yang dipaparkan. 


Sejarah Ringkas Fisika Medis
Di Tanah Air, istilah Fisika Medis muncul sebagai serapan dari bahasa Inggris; Medical Physics. Nah, dalam Bahasa Indonesia sendiri, padanan dari kata 'Medical' di sini dapat berarti 'Medis' maupun 'Medik'. Karena keduanya memiliki arti yang sama (yakni 'berkenaan dengan kesehatan'), maka keduanya benar. Tidak perlu heran ketika melihat tulisan 'Fisika Medik', karena yang dimaksud adalah sama dengan Fisika Medis. Di halaman ini digunakan istilah Fisika Medis semata-mata untuk alasan konsistensi.

Masyarakat Fisika Medis sendiri umumnya mengasosiasikan lahirnya Fisika Medis dengan dideskripsikannya fenomena sinar-X di Würzburg oleh Prof. Wilhelm Röntgen pada Desember 1894 (cerita ringan soal teramatinya sinar-X ini diberikan di post lainnya). Ada pula yang mengaitkannya dengan Prof. Marie Curie, yang pertama kali menggunakan substansi radioaktif untuk keperluan medis (terapi kanker). Secara modern, karya dan dedikasi keduanya memang titik awal meroketnya ilmu Fisika Medis. Jika saja Prof. Röntgen tidak mengungkapkan fenomena sinar-X, mungkin sekarang tidak ada pesawat sinar-X konvensional, boro-boro CT-Scan. Jika Prof. Curie tidak menginisiasi penggunaan radioaktif sebagai metode terapi kanker, maka saat ini tidak ada Radioterapi dan Brakhiterapi. Pada kenyataannya, Fisika Medis begitu melesat setelah kontribusi kedua orang yang namanya tersebut tadi. Hal inilah yang mendasari dipilihnya ulang tahun Marie Curie sebagai Hari Fisika Medis Internasional.

Tapi apakah hanya dari situ saja? Apakah istilah Fisika Medis benar-benar muncul hanya karena mereka? Nyatanya tidak. Menurut Francis Duck (sumber) istilah Fisika Medis pada masa itu sudah lazim dan digunakan dalam artikel-artikel ilmiah. Yah, tentunya nggak dalam bahasa Inggris 'Medical Physics'. Lebih tepatnya, ranah ini dibahas dalam die medizinische Physik oleh Adolf Fick (1858) dan lebih dahulu lagi dalam karya Neil Arnott 'Elements of Physics or Natural Philosophy, General and Medical' yang dipublikasikan tahun 1827. Itu yang paling awal? Tidak juga. Istilah yang berarti 'Fisika Medis' pertama muncul dalam literatur sebagai 'Physique Médicale' di Paris, tahun 1779. Istilah ini dibahas oleh Félix Vicq D'Azir sebagai pimpinan Société Royale De Médicine, sebuah asosiasi ilmiah kedokteran yang didanai raja Perancis kala itu, Louis XVI (ya, ini raja Perancis yang pada akhirnya dipenggal saat revolusi bergolak).

Physique Médicale waktu itu menjadi bab dalam jurnal yang dikelola Société Royale De Médicine (beriringan dengan bab lain, seperti Chemie Médicale dan lain-lain). Saat itu, bab tersebut berisi pembahasan prosedur terapi menggunakan aliran listrik serta magnetisme dari hewan untuk pengobatan kelumpuhan. Tahun 1824, masih di negara yang sama, terbit buku berjudul "Traité élémentaire de physique générale et médicale" yang ditulis oleh Pierre Pelletan. Buku ini merupakan textbook Fisika Medis pertama di dunia. Intinya, istilah Fisika Medis (lebih tepatnya saat itu Physique Médicale) sudah tumbuh subur di Eropa jauh sebelum hadirnya inovasi Marie Curie dan Röntgen. Namun, pada masa itu perkembangannya belum memiliki arah dan belum ada kesamaan persepsi antar ilmuwan yang menggeluti bidang tersebut. 

Tujuan yang seragam baru dirancang setelah didalaminya Radiobiologi, khususnya mengenai efek radiasi pada sel hidup. Radiobiologi sendiri merupakan hal baru ketika itu, yang lahir pasca kajian mengenai meninggalnya Marie Curie akibat leukemia demi menyelidiki hubungannya dengan kontak terhadap radiasi. Dari sanalah perlahan-lahan terbentuk konsep Fisika Medis seperti yang sekarang ini, yang didalamnya mencakup sub bidang Proteksi Radiasi. Pada masa ini, ilmuwan terkait sudah memiliki kesepahaman mengenai radioaktivitas dan interaksi radiasi dengan materi, sehingga arah pengamatan pun lebih jelas. Atas inovasi dari Curie, berkembanglah Radioterapi, yang pertama kalinya dari Brakhiterapi, kemudian menjadi ruangan yang berisi sumber radiasi, lalu, menjelang kematian Curie, terapi eksternal mulai diperkenalkan. Seiring dengan berjalannya waktu, konsep klinis berupa standar struktur pelayanan rumah sakit pun semakin jelas. Aplikasi radioaktif pada terapi lebih dulu masuk ke ranah klinis ketimbang sinar-X sebagai modalitas diagnostik. Dengan diintegrasikannya kedua bidang ini pada konsep rumah sakit (ingat, konsep rumah sakit dengan jajaran dokter, perawat, dan manajemennya baru berkembang menjadi seperti sekarang ini di awal abad 20), menyusul kemudian Kedokteran Nuklir, keberadaan Fisikawan di rumah sakit mulai dipertimbangkan. Pada November 1958, AAPM (American Association of Physicists in Medicine) berdiri sebagai ikatan fisikawan yang bekerja di bidang medis. IOMP (International Organization of Medical Physics) pun menyusul dibentuk pada Juli 1963 sebagai wadah organisasi internasional Fisika Medis yang berperan menyatukan organisas-organisasi Fisika Medis di seluruh dunia (sumber: Med. Phys. 5(4):290-6., Jul-Aug 1978)


Dengan adanya tuntutan profesi, bangkitnya jurusan khusus Fisika Medis di lingkungan akademik pun terjadi setelah sebelumnya Fisikawan Medis adalah 'sekedar' lulusan jurusan Fisika yang bekerja di ranah klinis. Institusi pendidikan pertama yang membuka program Fisika Medis adalah University of Wisconsin di Madison, USA. Dalam kurun yang hampir bersamaan, Prof. John Cameron dari institusi tersebut menerbitkan buku berjudul 'Medical Physics' yang berisi konsep Fisika pada sistem hidup. Publikasi inilah yang kemudian mendunia dan membuat Prof. Cameron menjadi salah satu sesepuh Fisika Medis dunia yang dikenal. Semenjak saat itu, hingga sekarang, Fisika Medis masih terus berkembang dan berkontribusi dalam dunia klinis. 

Di Ibu Pertiwi sendiri, Fisika Medis mengalami perkembangan yang cukup notable. Indonesia memiliki dua asosiasi yang keduanya berfungsi secara strategis dan saling berkoordinasi dalam harmoni yang amat terjaga. IKAFMI (Ikatan Fisikawan Medik Indonesia) berdiri sebagai organisasi profesi resmi yang memperjuangkan masa depan profesi Fisikawan Medis dalam konteksnya mengenai kebijakan yang diregulasikan oleh Kementerian Kesehatan dan mengupayakan implementasinya. Sementara itu, ranah keilmiahan-akademik dan representasi di kancah internasional diwakili oleh HFMBI (Himpunan Fisika Medis dan Biofisika Indonesia), yang merupakan anggota resmi dari AFOMP (Asian Federation of Organizations for Medical Physics), dan SEAFOMP (South-East Asian Federation of Organizations for Medical Physics). SEAFOMP sendiri adalah regional chapter dari IOMP dan lahirnya SEAFOMP pada tahun 2000 turut dibidani oleh Prof. Dr. Djarwani S. Soejoko (Universitas Indonesia) yang juga, semenjak jauh sebelum itu hingga detik ini, memperjuangkan recognition dari Fisika Medis Indonesia secara internal maupun eksternal. Artikel mengenai sejarah Fisika Medis di Indonesia dan statusnya saat ini akan diberikan pada kesempatan lainnya.


Fisika Medis, Fisikawan Medis, dan Ruang Lingkupnya


Oke, cukup dengan istilah dan sejarah. Lalu 'Fisika Medis' ini apa artinya? Bagaimana ruang lingkupnya dan apa yang dikerjakan kalau saya menjadi Fisikawan Medis?
Secara harafiah, tentu istilah 'Fisika Medis' dapat dengan mudah dirangkai menjadi beberapa kata; 'fisika yang berkenaan dengan kesehatan', dan memang artinya ya itu. Dilihat dari istilahnya saja, bisa ditebak bahwa cakupan Fisika Medis yang ada sekarang masih sangat luas dan berkaitan dengan banyak bidang lain, dan pada kenyataannya memang demikian. Ilmu Kedokteran, teknik, elektronika, biologi, biofisika, fisika inti, dan sederetan ranah ilmu lainnya turut berkontribusi dalam kemajuan maupun aplikasi Fisika Medis. Lingkup Fisika Medis pun agaknya berbeda di setiap wilayah di dunia. Di Belanda misalnya, Fisika Medis identik dengan ilmu mengenai suara (Audiologi). Di Finlandia, bidang Neurofisiologi direkatkan pada Fisika Medis. Namun, umumnya (sesuai kesepakatan dari berbagai asosiasi Fisika Medis termasuk IOMP) Fisika Medis dipersempit ke aplikasi radiasi (elektromagnetik, panas, suara) dalam bidang kedokteran, dan cakupan ini yang penulis bawakan di tulisan ini maupun tulisan-tulisan selanjutnya.

AAPM sebagai pemrakarsa organisasi Fisika Medis telah memiliki kerangka yang begitu jelas mengenai deskripsi kerja, ruang lingkup, bahkan sertifikasi berdasarkan spesialisasi (setiap spesialisasi memiliki badan sertifikasi yang berbeda-beda). Dideskripsikan dalam AAPM Professional Policy No. 17 bahwa Fisika Medis adalah cabang fisika yang berhubungan dengan praktik klinis (medis). AAPM membagi spesialisasi menjadi 4, yakni; diagnostic medical physics, therapeutic medical physics, nuclear medical physics, dan medical health physics. Setiap sub-bidang (spesialisasi) inilah yang disertifikasi oleh komite yang berbeda-beda. 


Nah, secara praktik, tidak semua lulusan Fisika Medis bisa mengakui dirinya sebagai seorang Fisikawan Medis. AAPM dalam Professional Policy No. 1 menyatakan bahwa Fisikawan Medis Berkualifikasi (QMP, Qualified Medical Physicist) adalah mereka yang memiliki gelar S2 atau S3 di bidang Fisika Medis, Biofisika, Fisika Radiologi, Fisika Kesehatan, serta bidang lain yang dapat disetarakan dari perguruan tinggi yang terakreditasi. Terakreditasi? Seperti kita ada akreditasi DIKTI gitu? Bukan. Mereka punya komite akreditasi sendiri untuk universitas yang memiliki program Fisika Medis (CAMPEP, Commission on Accreditation of Medical Physics Education Programs) dan kalau program itu tidak terakreditasi CAMPEP maka lulusannya tidak bisa menjadi Fisikawan Medis. Lalu itu saja? Tidak. Para lulusan kampus terakreditasi CAMPEP ini harus lebih dahulu melaksanakan Clinical Training (semacam co-ass kalau untuk dokter) selama minimal dua tahun untuk menekuni sub-bidang atau spesialisasinya. Program training tambahan satu tahun lagi juga disarankan untuk mendalami sub-sub-bidangnya (contohnya; seorang Fisikawan Medis di unit CT-Scan yang sudah lulus Clinical Training untuk Radiologi Diagnostik selama dua tahun disarankan untuk mengambil tambahan pelatihan satu tahun lagi untuk bidang CT-Scan). Setelah melalui itu semua, individu tersebut berhak menyebut dirinya Fisikawan Medis.

Menyusul AAPM, IOMP juga mengeluarkan statuta yang mendefinisikan dan mengatur tugas dan peranan Fisikawan Medis. Dua dokumen dipublikasikan secara bersamaan setelah disahkan pada World Congress on Medical Physics di Beijing tahun 2012 silam. IOMP Policy Statement No. 1 mendeskripsikan mengenai tugas dan tanggung jawab seorang Fisikawan Medis di situasi klinis, sedangkan IOMP Policy Statement No. 2 merumuskan jenjang pendidikan dan training yang harus dilalui oleh seseorang untuk menjadi Fisikawan Medis. Secara garis besar, isi dari Policy Statement ini sama dengan dokumen AAPM di atas tadi, hanya ada perbedaan redaksional dan istilah (AAPM menyebut Qualified Medical Physicist sementara IOMP menyebut Certified Medical Physicist, sebuah perbedaan kecil yang tak berarti). IOMP dan AAPM terlihat sangat sinergis dalam menentukan aturan prasyaratan akademik dan pelatihan untuk menjadi Fisikawan Medis. Perlu dicatat pula bahwa dokumen AAPM masuk ke dalam daftar referensi di Policy Statement IOMP.

Untuk ruang lingkup tugas Fisikawan Medis, baik IOMP dan AAPM menjabarkan dengan sangat lengkap setiap poin tugas. Pada garis besarnya, IOMP mendeskripsikan seorang Fisikawan Medis untuk bertugas:
  • Melaksanakan layanan klinis, diantaranya pelaksanaan QA/QC, perencanaan terapi (bagi Fisikawan Medis di Radioterapi), serta sederet tugas lainnya yang spesifik berdasarkan spesialisasinya.
  • Mengawasi keamanan dan keselamatan radiasi dengan melaksanakan perancangan desain dan shielding ruangan, pengawasan batas radiasi (survey), kalibrasi peralatan, dan lain-lain.
  • Melayani konsultasi internal mengenai perencanaan pengembangan atau perbaikan metode di lingkup kerjanya.
  • Melakukan penelitian dan membuat inovasi
  • Menjadi pendidik bagi sesama staf medis dan calon staf medis mengenai keselamatan radiasi dan Fisika Medis, serta membimbing Fisikawan Medis yang masih dalam masa training.
Untuk hal deskripsi tugas, dokumen AAPM disusun dengan begitu mendetil (spesifik untuk setiap spesialisasi sebagai tambahan bagi deskripsi kerja Fisikawan Medis secara umum). Namun pada intinya, kedua dokumen mengisyaratkan bahwa selain kegiatan klinis, Fisikawan Medis juga bertanggung jawab untuk melakukan penelitian dan pengembangan serta pendidikan (ya, ini yang penting: Fisikawan Medis harus bisa ngajar).


Mengintip Status Fisika Medis di Indonesia

Oke. Tadi sudah dibahas mengenai Fisika Medis menurut aturan internasional. Lantas bagaimana dengan Indonesia? Apakah kita mengikuti aturan IOMP dan AAPM? Well, bagi penulis sendiri situasi ini menjadi sesuatu yang sangat unik. Sebagai negara berdaulat, kita berhak menentukan peraturan sendiri mengenai kerangka jabatan, deskripsi kerja dan tugas pekerjanya. Untuk Fisikawan Medis, aturan ini memang sudah ada dan tertuang jelas dalam Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Aparatur Negara no. PER/12/M.PAN/5/2008 tentang jabatan fungsional Fisikawan Medis dan Angka Kreditnya. Dalam aturan tersebut (pasal 26 ayat 1) seorang calon Fisikawan Medis harus memiliki gelar minimum S1 Fisika Medis dan berpangkat paling rendah Penata Muda (golongan III/a) dengan syarat penilaian prestasi kerja tertentu untuk dapat diangkat menjadi Fisikawan Medis. Dalam regulasi ini disebutkan pula jenjang pangkat Fisikawan Medis yang terdiri dari Fisikawan Medis Pertama, Fisikawan Medis Muda, dan Fisikawan Medis Madya, dengan poin-poin tanggung jawab masing-masing. Penulis mengamati adanya keselarasan dengan dokumen AAPM sebagai deskriptor Fisika Medis pertama. Perbedaan yang amat mencolok adalah dari segi pendidikan prasyaratnya.

Well, dapat dipahami bahwa kondisi Fisika Medis di Indonesia memang unik. Dari sejarah mulainya pun kasus kita sudah tidak bisa dikatakan sama dengan yang dialami negara lain. Karenanya, syarat gelar S1 sebagai kompromi kini bertengger di deretan peraturan Meneg PAN RI tersebut. Sebagian mungkin tergelitik untuk menghela nafas melihat paut jauh antara regulasi kita dengan regulasi internasional. Tapi mau bagaimana? Kemampuan kita saat ini memang segitu. Meski demikian, bersikap pesimis itu haram dan nggak banget. Coba tengok fakta bahwa negara kita memang terlambat lebih dari 40 tahun dalam mengembangkan Fisika Medis. Menurut hemat penulis, semuanya wajar. Yang tidak wajar adalah kalau kita terus-terusan menganggap tertinggal itu wajar. Sedikit melegakan mengetahui bahwa praktisi, regulator, dan akademisi sepakat untuk mengejar ketertinggalan. Asal tahu saja, HFMBI dan IKAFMI terus-terusan berjuang menyamakan kedudukan pelayanan Fisika Medis Tanah Air dengan internasional, termasuk mengupayakan diadakannya Clinical Training yang hingga saat ini masih sangat sulit dilakukan. BAPETEN (Badan Pengawas Tenaga Nuklir) juga tak kurang-kurang menegakkan peraturan-peraturan yang berkiblat pada maksimalnya pelayanan Fisika Medis di rumah sakit. Sementara dari segi akademik, para institusi pendidikan yang memiliki program Fisika Medis diantaranya UI, ITB, UGM, UNHAS, USU, UNAS, UNDIP, UNIBRAW, dan lain-lain (penulis tidak ingat betul) sudah merapat ke dalam Asosiasi Institusi Pendidikan Fisika Medis Indonesia (AIPFMI) dan sudah menyamakan persepsi dalam hal kurikulum pendidikan Fisika Medis. Asosiasi ini diinisiasikan oleh Universitas Indonesia yang sejak tahun 1998 mengadopsi kurikulum dari AAPM. See? Kita tidak berpangku tangan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar